Beriman Kepada Ash Shirath

Beriman Kepada Ash Shirath

Beriman Kepada Ash Shirath (1) 


Di antara peristiwa menakutkan yang akan kita alami di hari kiamat adalah ketika kita melewati jembatan (shirath) yang dibentangkan di atas neraka jahannam menuju ke surga. Ini adalah salah satu peristiwa yang wajib kita imani, karena telah banyak ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sudah selayaknya bagi kita untuk berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar diberikan kemudahan dalam melewatinya kelak di akhirat. Dalam serial tulisan kali ini, kami akan membahas hal-hal pokok yang berkaitan dengan keimanan kita terhadap ash-shirath tersebut.

Pengertian Ash-Shirath


Secara bahasa, ash-shirath
(الصراط)
mengandung makna “suatu jalan yang terang”[1]. Menurut istilah syar’i, ash-shirath adalah “jembatan yang dibentangkan di atas punggung (permukaan) neraka jahannam”[2]. Al-Bukhari rahimahullah berkata,

باب الصراط : جسر جهنم

“Bab (tentang) ash-shirath: Jembatan (di atas) neraka jahannam.” [3]

Oleh karena itu, tidak ada jalan menuju surga kecuali dengan melewati ash-shirath (jembatan) ini.
Dalil-Dalil Yang Menetapkan Adanya Ash-Shirath

Adanya ash-shirath ditetapkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama.
Dalil dari Al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا

“Dan tidak ada seorang pun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (QS. Maryam [19]: 71)

Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna “mendatangi neraka” (الورود)(“al-wuruud”) dalam ayat di atas. Sebagian ulama berpendapat bahwa maknanya adalah “masuk ke dalam neraka”. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Juraij, dan pendapat yang dipilih oleh Al-Qurthubi. [4]

Sebagian ulama yang lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud adalah “lewat (melintas) di atas neraka”. Ini adalah pendapat Qatadah dan juga dipilih oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari. [5]

Adapun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa maknanya yaitu “melintasi jembatan di atas neraka.” [6]

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Ummu Mubasysyir mengabarkan kepadanya, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ketika berada di sisi Hafshah,

لَا يَدْخُلُ النَّارَ، إِنْ شَاءَ اللهُ، مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ أَحَدٌ، الَّذِينَ بَايَعُوا تَحْتَهَا» قَالَتْ: بَلَى، يَا رَسُولَ اللهِ فَانْتَهَرَهَا، فَقَالَتْ حَفْصَةُ: {وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا} [مريم: 71] فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: {ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا} [مريم: 72]

“Tidak akan masuk neraka -jika Allah menghendaki- seorang pun dari mereka yang ikut serta berbai’at di bawah pohon.” Hafshah berkata,”Apakah memang benar seperti itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menegur Hafshah (yang berbicara seperti itu). Lalu Hafshah membacakan ayat,

وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا

“Dan tidak ada seorang pun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu.” (QS. Maryam [19]: 71) Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا

“Kemudian kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.” (QS. Maryam [19]: 72)” [7].

Dalam hadits yang lain, juga diriwayatkan dari Jarir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَنَّ عَبْدًا لِحَاطِبٍ جَاءَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْكُو حَاطِبًا فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ لَيَدْخُلَنَّ حَاطِبٌ النَّارَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَذَبْتَ لَا يَدْخُلُهَا، فَإِنَّهُ شَهِدَ بَدْرًا وَالْحُدَيْبِيَةَ»

“Sesungguhnya budak Hathib mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengadukan Hathib (yaitu tuannya, pen.). Budak Hathib berkata,’Wahai Rasulullah, sungguh Hathib pasti akan masuk neraka.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Kamu berdusta, dia tidak akan masuk neraka karena dia pernah ikut serta dalam perang Badar dan perjanjian Hudaibiyyah” [8].

Dalam dua hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan (mengingkari) masuknya para sahabat yang berbai’at di bawah pohon dan juga masuknya Hathib radhiyallahu ‘anhu ke dalam neraka. Maka hal ini menunjukkan bahwa siapa saja yang Allah Ta’ala selamatkan dari neraka, maka mereka tidak akan masuk ke dalam neraka tersebut. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan “al-wuruud” dalam surat Maryam ayat 71 di atas adalah “melintasi ash-shirath (jembatan)”.

Selain itu, tidak ada pertentangan antara “masuk ke dalam neraka” dengan “melintasi ash-shirath” karena ash-shirath adalah jembatan di atas neraka jahannam. Maka siapa saja yang melintasi ash-shirath maka sudah bisa dikatakan bahwa dia masuk ke dalam neraka.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

ولا تنافي بينهما لأن من عبر بالدخول تجوز به عن المرور ووجهه أن المار عليها فوق الصراط في معنى من دخلها

“Tidak ada pertentangan di antara kedua makna tersebut. Karena barangsiapa yang menggunakan istilah ‘masuk’ maka boleh menggunakan istilah ‘lewat/melintas’. Hal ini karena barangsiapa yang melintas di atas neraka (di atas jembatan) sama maknanya dengan ‘masuk neraka’” [9].

Dalil dari As-Sunnah


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah potongan hadits yang panjang tentang kondisi pada hari kiamat,

…وَيُضْرَبُ الصِّرَاطُ بَيْنَ ظَهْرَيْ جَهَنَّمَ، فَأَكُونُ أَنَا وَأُمَّتِي أَوَّلَ مَنْ يُجِيزُهَا، وَلاَ يَتَكَلَّمُ يَوْمَئِذٍ إِلَّا الرُّسُلُ، وَدَعْوَى الرُّسُلِ يَوْمَئِذٍ: اللَّهُمَّ سَلِّمْ سَلِّمْ …

“ … dan dibentangkanlah ash-shirath di antara kedua punggung neraka jahannam. Maka aku dan umatku adalah yang pertama kali melintasinya. Tidak ada seorang pun yang berbicara ketika itu kecuali para rasul. Ucapan para rasul ketika itu adalah,’Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah’ … “ [10].
Dalil Ijma’

Dari Abu Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abu Hatim, beliau berkata,”Aku bertanya kepada bapakku dan Abu Zur’ah tentang madzhab ahlus sunnah dalam pokok-pokok agama, dan apa yang mereka ketahui dari para ulama di berbagai penjuru negeri dan apa yang mereka berdua yakini tentang hal itu? Maka keduanya menjawab, ‘Kami menjumpai ulama dari berbagai negeri, baik negeri Hijaz, Iraq, Syam, dan negeri Yaman, maka di antara madzhab mereka: … dan ash-shirath adalah haq (benar adanya)” [11].

Ibnu Abi Zamanin rahimahullah berkata,

وأهل السنة يؤمنون بالصراط، وأن الناس يمرون عليه يوم القيامة على قدر أعمالهم

”Ahlus sunnah beriman kepada ash-shirath, dan sesungguhnya manusia akan melintasinya pada hari kiamat sesuai dengan amal perbuatan mereka” [12].

Abu ‘Utsman Isma’il Ash-Shabuni rahimahullah berkata,

ويؤمن أهل الدين والسنة بالبعث بعد الموت .. والمقام الهائل من الصراط، والميزان

”Ahli agama dan ahlus sunnah beriman adanya hari kebangkitan setelah mati … dan kondisi yang menakutkan berupa ‘ash-shirath’, dan (beriman kepada) ‘al-mizan’ (timbangan).” [13] [14]. (Muslim.or.id)

___
Catatan kaki:

[1] Maqayiis Al-Lughah 3/349, karya Ibnu Faris.

[2] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 3/146 dan Fathul Baari, 13/425.

[3] Shahih Al-Bukhari, 8/117.

[4] Lihat Jami’ul Bayaan, 9/142 karya Ath-Thabari dan At-Tadzkirah bi Ahwaalil Mauta wa Umuuril Akhirah, 2/762.

[5] Jami’ul Bayaan, 9/144 karya Ath-Thabari.

[6] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 4/279.

[7] HR. Muslim no. 2496.

[8] HR. Muslim no. 2495.

[9] Fathul Baari, 3/124.

[10] HR. Bukhari no. 806.

[11] Diriwayatkan oleh Al-Laalika’i dalam Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlus Sunnah, 2/197-198.

[12] Ushuulus Sunnah, hal. 168.

[13] ‘Aqidatus Salaf Ash-Haabul Hadits, hal. 75.

[14] Diterjemahkan dan disarikan dari kitab Al-Imaan bimaa Ba’dal Maut: Masaail wa Dalaail, karya Ahmad bin Muhammad bin Shadiq An-Najar, Daar An-Nashihah, Madinah KSA, cetakan pertama, tahun 1434, hal. 231-235.

Beriman Kepada Ash Shirath (2)


Hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan sifat (gambaran) ash-shirath dengan sifat yang cukup banyak. Sifat-sifat ash-shirath tersebut termasuk dalam perkara ghaib yang tidak mungkin diketahui oleh manusia kecuali melalui jalan wahyu. Di antara dalil yang menggambarkan tentang ash-shirath antara lain:

Dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, dalam sebuah potongan hadits yang panjang, beliau menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

…ثُمَّ يُؤْتَى بِالْجَسْرِ فَيُجْعَلُ بَيْنَ ظَهْرَيْ جَهَنَّمَ “، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الجَسْرُ؟ قَالَ: ” مَدْحَضَةٌ مَزِلَّةٌ، عَلَيْهِ خَطَاطِيفُ وَكَلاَلِيبُ، وَحَسَكَةٌ مُفَلْطَحَةٌ لَهَا شَوْكَةٌ عُقَيْفَاءُ، تَكُونُ بِنَجْدٍ، يُقَالُ لَهَا: السَّعْدَانُ …

“ … kemudian didatangkanlah jembatan, dan dibentangkan di antara dua punggung neraka jahannam. Kami (para sahabat) bertanya,’Wahai Rasulullah, bagaimanakah bentuk jembatan itu?’ Rasulullah menjawab,’(Jembatan itu) licin dan menggelincirkan. Di atasnya terdapat besi-besi pengait (semacam jangkar, pen.) dan kawat berduri yang ujungnya bengkok. Ia bagaikan pohon berduri di daerah Najd, dikenal dengan pohon Sa’dan … “.

Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu kemudian berkata,

بَلَغَنِي أَنَّ الْجِسْرَ أَدَقُّ مِنَ الشَّعْرَةِ، وَأَحَدُّ مِنَ السَّيْفِ

“Telah sampai (berita) kepadaku bahwa shirath itu lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang.” [1]

Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَفِي حَافَتَيِ الصِّرَاطِ كَلَالِيبُ مُعَلَّقَةٌ مَأْمُورَةٌ بِأَخْذِ مَنِ اُمِرَتْ بِهِ، فَمَخْدُوشٌ نَاجٍ، وَمَكْدُوسٌ فِي النَّارِ

“Di kedua sisi shirath terdapat besi pengait yang digantungkan, dan diperintahkan untuk mengait siapa saja yang diperintahkan kepadanya. Maka ada yang terpeleset, namun dia selamat. Dan ada pula yang terjungkir masuk ke dalam neraka.” [2]

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits di atas,

معناه أنهم ثلاثة أقسام قسم يسلم فلا يناله شئ أصلا وقسم يخدش ثم يرسل فيخلص وقسم يكردس ويلقى فيسقط في جهنم

“Maknanya, terdapat tiga golongan manusia. Pertama, mereka yang selamat, tidak terkena (tidak disambar) besi pengait sama sekali. Ke dua, mereka yang terpeleset disambar besi pengait, kemudian dilepas lagi dan dibebaskan (selamat). Ke tiga, mereka yang terjungkir, dilemparkan, dan jatuh ke dalam neraka jahannam.” [3]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَبِهِ كَلالِيبُ مِثْلُ شَوْكِ السَّعْدَانِ، أَمَا رَأَيْتُمْ شَوْكَ السَّعْدَانِ؟ ” قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: ” فَإِنَّهَا مِثْلُ شَوْكِ السَّعْدَانِ، غَيْرَ أَنَّهَا لاَ يَعْلَمُ قَدْرَ عِظَمِهَا إِلَّا اللَّهُ

“Pada jembatan itu terdapat besi-besi pengait seperti duri pohon Sa’dan. Pernahkah kalian melihatnya?” Para sahabat menjawab,”Pernah wahai Rasulullah”’ Rasulullah bersabda,”Maka ia seperti duri pohon Sa’dan. Hanya saja, tidak ada yang mengetahui ukuran (besarnya) kecuali Allah.” [4]

Dari dalil-dalil di atas, dapat dikatakan bahwa ashi-shirath memiliki gambaran berikut ini:

  • Shirath dibentangkan di atas neraka jahannam.
  • Licin, sehingga dapat menggelincirkan kaki manusia dan membuat jatuh (ke dalam neraka).
  • Di kedua sisinya terdapat besi pengait (semacam jangkar) dan duri. Tidak ada yang mengetahui besarnya, kecuali Allah Ta’ala.
  • Lebih lembut dari rambut, namun lebih tajam dari pedang. [5]

Kegelapan pada Saat Melintasi Ash-Shirath


Pada hari kiamat, setelah manusia dihisab dan ditimbang amal perbuatannya, Allah Ta’ala membentangkan ash-shirath di atas neraka jahannam dalam kondisi yang gelap gulita. Maka manusia melintas di atas shirath sesuai dengan cahaya yang diberikan kepadanya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (12) يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ (13) يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللَّهِ وَغَرَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ

“(Yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada meraka), “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.”

Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu.” Dikatakan (kepada mereka), “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu diadakan di antara mereka (yaitu orang mukmin dan orang muafik) dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya (yang menghadap orang mukmin) ada rahmat dan di sebelah luarnya (yang menghadap orang munafik) dari situ ada siksa.

Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata, “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?” Mereka menjawab, “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah. Dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu.” (QS. Al-Hadiid [57]: 12-14)

Orang-orang yang beriman diberi cahaya yang menerangi mereka pada saat melintasi shirath. Terangnya cahaya yang mereka miliki akan sesuai dengan amal mereka masing-masing. Adapun orang-orang munafik, mereka tidaklah diberi cahaya. Sehingga mereka pun jatuh ke dalam neraka jahannam. [6]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat di atas,

يَقُولُ تَعَالَى مُخْبَرًا عَنِ الْمُؤْمِنِينَ الْمُتَصَدِّقِينَ أَنَّهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ فِي عَرَصَاتِ الْقِيَامَةِ، بِحَسَبِ أَعْمَالِهِمْ كَمَا قَالَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: يَسْعى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ قَالَ: عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ يَمُرُّونَ عَلَى الصِّرَاطِ، مِنْهُمْ مَنْ نُورُهُ مِثْلُ الْجَبَلِ، وَمِنْهُمْ مَنْ نُورُهُ مِثْلُ النَّخْلَةِ وَمِنْهُمْ مَنْ نُورُهُ مِثْلُ الرَّجُلِ الْقَائِمِ، وَأَدْنَاهُمْ نُورًا مَنْ نُورُهُ فِي إِبْهَامِهِ يَتَّقِدُ مَرَّةً ويطفأ مرة، وَرَوَاهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَابْنُ جَرِيرٍ

“Allah Ta’ala mengabarkan tentang orang-orang yang beriman bahwasannya pada hari kiamat mereka memiliki cahaya yang bersinar di hadapan mereka sesuai dengan amal perbuatan mereka. Tentang firman Allah Ta’ala (yang artinya),’sedang cahaya mereka bersinar di hadapan mereka’, Abdullah bin Mas’ud berkata, ’Mereka melintasi shirath sesuai dengan amal perbuatan mereka. Di antara mereka ada yang memiliki cahaya sebesar gunung, ada yang memiliki cahaya seperti pohon kurma, dan ada pula yang memiliki cahaya seperti (setinggi) seorang laki-laki yang berdiri tegak. Orang yang paling rendah adalah yang memiliki cahaya pada ibu jari mereka, terkadang bersinar dan terkadang cahaya tersebut padam.’ Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir.” [7]

Adh-Dhahak berkata,

ليس أحد إِلَّا يُعْطَى نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَإِذَا انْتَهَوْا إِلَى الصِّرَاطِ طُفِئَ نُورُ الْمُنَافِقِينَ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْمُؤْمِنُونَ أَشْفَقُوا أَنْ يُطْفَأَ نُورُهُمْ كَمَا طُفِئَ نُورُ الْمُنَافِقِينَ فَقَالُوا: رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نورنا

“Tidak ada seorang pun, melainkan (pasti) diberikan cahaya pada hari kiamat. Maka ketika mereka sampai ke shirath, padamlah cahaya yang dimiliki oleh orang-orang munafik. Maka ketika orang-orang mukmin melihat hal itu, mereka khawatir kalau cahaya mereka juga ikut padam sebagaimana cahaya orang-orang munafik. Orang-orang mukmin pun berdoa,’Wahai Rabb kami, sempurnakanlah cahaya kami.” [8].

___
Catatan kaki:

[1] HR. Muslim no. 183.

[2] HR. Muslim no. 195.

[3] Syarh Shahih Muslim, 3/29.

[4] HR. Bukhari no. 6573.

[5] Bagian ini diterjemahkan dengan beberapa penambahan dari kitab Al-Imaan bimaa Ba’dal Maut: Masaail wa Dalaail, karya Ahmad bin Muhammad bin Shadiq An-Najar, Daar An-Nashihah, Madinah KSA, cetakan pertama, tahun 1434, hal. 241-242.

[6] Lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, 2/736 karya Syaikh Shalih Alu Syaikh.

[7] Tafsir Ibnu Katsir, 8/15.

[8] Tafsir Ibnu Katsir, 8/15.


Beriman Kepada Ash Shirath (Selesai)


Siapakah yang Akan Melintasi “Ash-Shirath”?


Umat yang pertama kali akan melintasi shirath adalah umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَيُضْرَبُ الصِّرَاطُ بَيْنَ ظَهْرَيْ جَهَنَّمَ، فَأَكُونُ أَنَا وَأُمَّتِي أَوَّلَ مَنْ يُجِيزُهَا

“Dan dibentangkanlah shirath di antara dua punggung neraka jahannam. Maka aku dan umatku yang pertama kali melintasinya.” [1]

Kondisi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melintasi shirath akan sesuai dengan amal perbuatan mereka masing-masing, dan juga sesuai dengan sikap ittiba’ (mengikuti sunnah atau petunjuk) mereka terhadap sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang konsisten berjalan di atas jalan yang abstrak, yaitu berjalan di atas petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di dunia, maka Allah Ta’ala mudahkan dan teguhkan dia ketika berjalan di atas jalan (atau jembatan) yang konkret, yaitu shirath ketika di akhirat. Sebaliknya, barangsiapa yang berpaling dari jalan yang abstrak, yaitu dengan menyimpang dan berpaling dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia akan tergelincir dari jalan yang konkret, yaitu shirath, dengan diambil atau disambar oleh besi-besi pengait yang ada pada shirath tersebut. Dan Allah Ta’ala tidaklah mendzalimi hamba-Nya sedikit pun.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَتُرْسَلُ الْأَمَانَةُ وَالرَّحِمُ، فَتَقُومَانِ جَنَبَتَيِ الصِّرَاطِ يَمِينًا وَشِمَالًا، فَيَمُرُّ أَوَّلُكُمْ كَالْبَرْقِ ” قَالَ: قُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي أَيُّ شَيْءٍ كَمَرِّ الْبَرْقِ؟ قَالَ: ” أَلَمْ تَرَوْا إِلَى الْبَرْقِ كَيْفَ يَمُرُّ وَيَرْجِعُ فِي طَرْفَةِ عَيْنٍ؟ ثُمَّ كَمَرِّ الرِّيحِ، ثُمَّ كَمَرِّ الطَّيْرِ، وَشَدِّ الرِّجَالِ، تَجْرِي بِهِمْ أَعْمَالُهُمْ وَنَبِيُّكُمْ قَائِمٌ عَلَى الصِّرَاطِ يَقُولُ: رَبِّ سَلِّمْ سَلِّمْ، حَتَّى تَعْجِزَ أَعْمَالُ الْعِبَادِ، حَتَّى يَجِيءَ الرَّجُلُ فَلَا يَسْتَطِيعُ السَّيْرَ إِلَّا زَحْفًا “، قَالَ: «وَفِي حَافَتَيِ الصِّرَاطِ كَلَالِيبُ مُعَلَّقَةٌ مَأْمُورَةٌ بِأَخْذِ مَنِ اُمِرَتْ بِهِ، فَمَخْدُوشٌ نَاجٍ، وَمَكْدُوسٌ فِي النَّارِ»

“Lalu diutuslah amanah dan rahim (tali persaudaraan), keduanya berdiri di samping kiri dan kanan shirath tersebut. Orang yang pertama melewatinya seperti kilat.“ Aku bertanya, “Dengan bapak dan ibuku (aku korbankan) demi engkau. Adakah sesuatu seperti kilat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab , “Tidakkah kalian pernah melihat kilat, bagaimanakah kilat lewat (datang) dalam sekejap mata? Kemudian ada yang melewatinya seperti angin, kemudian seperti burung, dan seperti kuda yang berlari kencang. Mereka melintas sesuai dengan amal perbuatan mereka. Ketika itu, Nabi kalian berdiri di atas shirath sambil berkata, “Ya Allah, selamatkanlah! Selamatkanlah! Sampai (giliran) para hamba yang lemah amalnya, sehingga datanglah orang tersebut lalu dia tidak bisa melewatinya kecuali dengan merangkak.” Beliau bersabda (lagi), “Di kedua sisi shirath terdapat besi pengait yang bergantungan untuk menyambar siapa saja yang diperintahkan untuk disambar. Maka ada yang terpeleset namun selamat dan ada pula yang terjungkir ke dalam neraka.“ [2]

Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

المُؤْمِنُ عَلَيْهَا كَالطَّرْفِ وَكَالْبَرْقِ وَكَالرِّيحِ، وَكَأَجَاوِيدِ الخَيْلِ وَالرِّكَابِ، فَنَاجٍ مُسَلَّمٌ، وَنَاجٍ مَخْدُوشٌ، وَمَكْدُوسٌ فِي نَارِ جَهَنَّمَ، حَتَّى يَمُرَّ آخِرُهُمْ يُسْحَبُ سَحْبًا

“Orang mukmin (berada) di atasnya (shirath). Ada yang secepat kedipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda yang amat kencang berlari, dan ada yang secepat pengendara. Maka ada yang selamat setelah terpeleset dan ada pula yang dilemparkan ke dalam neraka. Mereka yang paling terakhir merangkak secara perlahan.” [3]

Dan perlu diketahui bahwa orang-orang musyrik tidaklah melewati shirath. Mereka akan jatuh ke dalam neraka sebelum shirath dibentangkan. Hal ini ditunjukkan oleh sebuah hadits yang panjang berikut ini.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّ نَاسًا فِي زَمَنِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَعَمْ» قَالَ: «هَلْ تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ الشَّمْسِ بِالظَّهِيرَةِ صَحْوًا لَيْسَ مَعَهَا سَحَابٌ؟ وَهَلْ تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ صَحْوًا لَيْسَ فِيهَا سَحَابٌ؟» قَالُوا: لَا يَا رَسُولَ اللهِ،

Dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, sesunnguhnya manusia pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,”Wahai Rasulullah, apakah kami melihat Rabb kami pada hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Apakah kalian kesulitan (berdesak-desakan) ketika melihat matahari di siang hari yang tidak ada awan? Apakah kalian kesulitan (berdesak-desakan) ketika melihat bulan di malam purnama yang tidak ada awan?” Mereka (para sahabat) menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah.”

قَالَ: ” مَا تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا كَمَا تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ أَحَدِهِمَا، إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ أَذَّنَ مُؤَذِّنٌ لِيَتَّبِعْ كُلُّ أُمَّةٍ مَا كَانَتْ تَعْبُدُ، فَلَا يَبْقَى أَحَدٌ كَانَ يَعْبُدُ غَيْرَ اللهِ سُبْحَانَهُ مِنَ الْأَصْنَامِ وَالْأَنْصَابِ إِلَّا يَتَسَاقَطُونَ فِي النَّارِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ إِلَّا مَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللهَ مِنْ بَرٍّ وَفَاجِرٍ وَغُبَّرِ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَيُدْعَى الْيَهُودُ، فَيُقَالُ لَهُمْ: مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ؟ قَالُوا: كُنَّا نَعْبُدُ عُزَيْرَ ابْنَ اللهِ، فَيُقَالُ: كَذَبْتُمْ مَا اتَّخَذَ اللهُ مِنْ صَاحِبَةٍ وَلَا وَلَدٍ، فَمَاذَا تَبْغُونَ؟ قَالُوا: عَطِشْنَا يَا رَبَّنَا، فَاسْقِنَا، فَيُشَارُ إِلَيْهِمْ أَلَا تَرِدُونَ؟ فَيُحْشَرُونَ إِلَى النَّارِ كَأَنَّهَا سَرَابٌ يَحْطِمُ بَعْضُهَا بَعْضًا، فَيَتَسَاقَطُونَ فِي النَّارِ،

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda,”Kalian tidaklah kesulitan ketika melihat Allah Ta’ala pada hari kiamat, sebagaimana kalian tidak kesulitan ketika melihat keduanya (matahari dan bulan purnama). Pada hari kiamat, ada seseorang yang berteriak, ‘Hendaklah setiap umat mengikuti apa yang dahulu disembahnya.’ Sehingga tidak ada seorang pun yang menyembah selain Allah Ta’ala, baik menyembah berhala dan patung, melainkan mereka pasti terjerumus ke dalam neraka. Sampai tidak ada yang tersisa sedikit pun, kecuali mereka yang menyembah Allah Ta’ala, baik orang yang baik dan buruk, dan sisa ahli kitab. Maka orang Yahudi dipanggil, kemudian ditanyakan kepada mereka,’Apa yang dahulu kalian sembah?’ Mereka menjawab,’Dahulu kami menyembah Uzair, putera (anak) Allah.’ Dikatakan kepada mereka,’Kalian berdusta, Allah tidak menjadikan (memiliki) istri dan anak. Lalu apa yang kalian inginkan?’ Mereka berkata,’Kami haus wahai Rabb kami, berilah kami minum.’ Lalu mereka diberi isyarat pada sesuatu yang mereka inginkan tersebut. Mereka pun digiring ke neraka, seakan-akan neraka tersebut bagaikan fatamorgana, sebagian memukul sebagian yang lain, lalu mereka terjerumus (jatuh) ke dalam neraka.

ثُمَّ يُدْعَى النَّصَارَى، فَيُقَالُ لَهُمْ: مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ؟ قَالُوا: كُنَّا نَعْبُدُ الْمَسِيحَ ابْنَ اللهِ، فَيُقَالُ لَهُمْ، كَذَبْتُمْ مَا اتَّخَذَ اللهُ مِنْ صَاحِبَةٍ وَلَا وَلَدٍ، فَيُقَالُ لَهُمْ: مَاذَا تَبْغُونَ؟ فَيَقُولُونَ: عَطِشْنَا يَا رَبَّنَا، فَاسْقِنَا، قَالَ: فَيُشَارُ إِلَيْهِمْ أَلَا تَرِدُونَ؟ فَيُحْشَرُونَ إِلَى جَهَنَّمَ كَأَنَّهَا سَرَابٌ يَحْطِمُ بَعْضُهَا بَعْضًا، فَيَتَسَاقَطُونَ فِي النَّارِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ إِلَّا مَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللهَ تَعَالَى مِنْ بَرٍّ وَفَاجِرٍ أَتَاهُمْ رَبُّ الْعَالَمِينَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي أَدْنَى صُورَةٍ مِنَ الَّتِي رَأَوْهُ فِيهَا

Maka orang Nasrani dipanggil, kemudian ditanyakan kepada mereka,’Apa yang dahulu kalian sembah?’ Mereka menjawab,’Dahulu kami menyembah Al-Masih, putera (anak) Allah.’ Dikatakan kepada mereka,’Kalian berdusta, Allah tidak menjadikan (memiliki) istri dan anak. Lalu apa yang kalian inginkan?’ Mereka berkata,’Kami haus wahai Rabb kami, berilah kami minum.’ Lalu mereka diberi isyarat pada sesuatu yang mereka inginkan tersebut. Mereka pun digiring ke neraka, seakan-akan neraka tersebut bagaikan fatamorgana, sebagian memukul sebagian yang lain, lalu mereka terjerumus (jatuh) ke dalam neraka. Hingga tidaklah tersisa melainkan orang yang menyembah Allah Ta’ala, baik orang baik atau orang fajir. Allah Ta’ala lalu mendatangi mereka dalam bentuk yang paling ringan yang dapat mereka lihat.

قَالَ: فَمَا تَنْتَظِرُونَ؟ تَتْبَعُ كُلُّ أُمَّةٍ مَا كَانَتْ تَعْبُدُ، قَالُوا: يَا رَبَّنَا، فَارَقْنَا النَّاسَ فِي الدُّنْيَا أَفْقَرَ مَا كُنَّا إِلَيْهِمْ، وَلَمْ نُصَاحِبْهُمْ، فَيَقُولُ: أَنَا رَبُّكُمْ، فَيَقُولُونَ: نَعُوذُ بِاللهِ مِنْكَ لَا نُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، حَتَّى إِنَّ بَعْضَهُمْ لَيَكَادُ أَنْ يَنْقَلِبَ، فَيَقُولُ: هَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ آيَةٌ فَتَعْرِفُونَهُ بِهَا؟ فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ فَلَا يَبْقَى مَنْ كَانَ يَسْجُدُ لِلَّهِ مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِهِ إِلَّا أَذِنَ اللهُ لَهُ بِالسُّجُودِ، وَلَا يَبْقَى مَنْ كَانَ يَسْجُدُ اتِّقَاءً وَرِيَاءً إِلَّا جَعَلَ اللهُ [ص:169] ظَهْرَهُ طَبَقَةً وَاحِدَةً، كُلَّمَا أَرَادَ أَنْ يَسْجُدَ خَرَّ عَلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَرْفَعُونَ رُءُوسَهُمْ وَقَدْ تَحَوَّلَ فِي صُورَتِهِ الَّتِي رَأَوْهُ فِيهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ، فَقَالَ: أَنَا رَبُّكُمْ، فَيَقُولُونَ: أَنْتَ رَبُّنَا، ثُمَّ يُضْرَبُ الْجِسْرُ عَلَى جَهَنَّمَ، وَتَحِلُّ الشَّفَاعَةُ، وَيَقُولُونَ: اللهُمَّ سَلِّمْ، سَلِّمْ “

Allah berfirman,’Apa yang kalian tunggu, (padahal) setiap umat mengikuti apa yang mereka sembah?’ Mereka menjawab,’Wahai Rabb kami, kami memisahkan diri dari manusia ketika kami membutuhkan apa yang kami butuhkan kepada mereka, akan tetapi kami tidak berteman kepada mereka.’ Maka Allah berfirman,’Aku adalah Rabb kalian.’ Mereka berkata,’Aku berlindung kepada Allah darimu, kami tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu pun.’ Mereka mengucapkan itu dua atau tiga kali, sampai sebagian mereka hampir berbalik. Allah bertanya,’Apakah di antara kalian dan Dia (Allah) memiliki tanda-tanda yang dapat kalian kenali?’ Mereka mengatakan,’Ya.’ Maka disingkaplah betis-Nya, sehingga tidaklah tersisa orang yang dahulu bersujud kepada Allah dari dalam dirinya (ikhlas) kecuali Allah izinkan baginya untuk bersujud. Dan tidaklah tersisa orang yang sebelumnya bersujud karena riya’, kecuali Allah jadikan punggungnya satu lipatan, setiap kali hendak bersujud, maka dia tersungkur di atas tengkuknya. Kemudian mereka mengangkat kepala mereka dan Allah telah berubah bentuk sebagaimana yang mereka lihat pertama kalinya. Kemudian Allah berfirman, ’Aku adalah Rabb kalian.’ Mereka pun berkata, ’Engkau adalah Rabb kami.’ Kemudian dibentangkan jembatan di atas nereka jahannam, dan berlakulah syafa’at pada hari itu. Mereka pun berkata (berdoa),’Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah … ‘ … [4]

Ibnu Rajab rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits di atas,”Hadits ini jelas menunjukkan bahwa siapa saja yang beribadah kepada sesuatu selain Allah Ta’ala, seperti Al-Masih dan Uzair dari golongan ahli kitab, maka mereka akan dikumpulkan bersama orang-orang musyrik lainnya ke dalam neraka sebelum shirath dibentangkan. Para penyembah berhala, pohon, bulan, dan selain itu dari golongan orang-orang musyrik, masing-masing golongan akan mengikuti apa yang dahulu mereka sembah di dunia. Mereka pun dikembalikan ke neraka bersama sesembahannya terlebih dahulu. Hal ini telah ditunjukkan oleh Al Qur’an melalui firman Allah Ta’ala yang menceritakan kondisi Fir’aun,

يَقْدُمُ قَوْمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَوْرَدَهُمُ النَّارَ وَبِئْسَ الْوِرْدُ الْمَوْرُودُ

‘Ia berjalan di muka kaumnya di hari kiamat lalu memasukkan mereka ke dalam neraka. Dan neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi.’ (QS. Huud [11]: 98)” [5]

Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan renungan, tentang apa yang akan kita semua alami di akhirat kelak. Dan semoga kita termotivasi untuk meningkatkan keimanan dan amal shalih, karena kecepatan dan keselamatan kita dalam melintasi shirath tersebut sesuai dengan kadar keimanan dan amal shalih kita masing-masing. [6] [Selesai]

***(Muslimah.or.id)***

Penulis: M. Saifudin Hakim
Catatan kaki:

[1] HR. Bukhari no. 806.

[2] HR. Muslim no. 195.

[3] HR. Bukhari no. 7439 dan Muslim no. 183.

[4] HR. Muslim no. 183.

[5] At-Takhwiif minan Naar, termasuk bagian dari Majmu’ Rasail Ibnu Rajab, 4/344.

[6] Disarikan dari kitab Al-Imaan bimaa Ba’dal Maut: Masaail wa Dalaail, karya Ahmad bin Muhammad bin Shadiq An-Najar, Daar An-Nashihah, Madinah KSA, cetakan pertama, tahun 1434, hal. 243-247.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Beriman Kepada Ash Shirath "

Post a Comment